Samodramanthana
Once upon a time when human beings have not lived in the earth yet, there were gods and giants. The gods represented goodness, and the giants represented evil. The number of giants were greater than the gods. In fact, both groups were always quarreling.
God Brahma as the creator of the universe felt so worry that the world would be conquered by evil, so he commanded to have a special meeting at the top of
The giants were allowed to join the ocean stirring. The stirring tool was
Temptations and helps came and went by. By the direction and power of God Siwa,
Because all the things that previously came out of the ocean were taken by the gods, the giants demanded to have the jar of Amerta which was the last one that came out. A great fight happened between the gods and the giants to get the jar of Amerta. When the fight came to its peak, suddenly
Both sides became panic. In this dreadful situation, God Siwa went down and gave help. He drank the deadly poison. Because of his magical power, he only got his throat burned. Since then, God Siwa was called the blue neck or Nilakantha.
During the chaos, the jar of Amerta fell to the hands of the giants. To get the jar back, God Brahma disguised as an angel, and he succeeded stealing the jar of Amerta from the giants. Finally God Brahma gave the jar of Amerta to the gods.
(This story is carved in the form of relief in
Danang WF
XII IPA 2/30
Samodramanthana
(Versi
Dikisahkan pada jaman dahulu ketika dunia belum dihuni manusia yang mendiami adalah para dewa dan raksasa.
Dewa Brahmana selaku Dewa Pencipta Alam merasa cemas dan khawatir kalau nantinya dunia ini hanya dikuasai kejahatan belaka. Atas instruksi Dewa Brahmana diselengggarakan pertemuan istimewa yang bertempat di puncak gunung Mahameru. Hasil pertemuan : untuk dapat mengalahkan para raksasa dibutuhkan "Amerta", yakni air penghidupan. Barangsiapa yang berhasil meminumnya luput dari sakit dan kematian. Keputusan rahasia para dewa ini didengar oleh para raksasa tapi apa boleh buat tenaga mereka yang jumlahnya lebih banyak sangat diperlukan.
Cobaan dan pertolongan datang silih berganti. Atas petunjuk dan kesaktian Dewa Siwa maka gunung Mandara tersebut kemudian direndam dalam lautan. Tidak lama kemudian dari dalam laut muncullah bulan purnama, cahayanya menerangi seluruh alam semesta. Kemudian berturut-turut keluar dari dalam laitan : Sura, Dewi Anggur penggembira kahyangan. Laksmi Dewi Kebahagiaan yang kemudian diambil istri oleh Dewa Wisnu dan kemudian Kaustubha, manikam yang berkilau-kilauan yang kemudian dipergunakan sebagai penghias dada Dewi Brahma. Paling akhir keluar adalah Dewa Dhanwantari tabib kahyangan yang membawa guci Amerta. Karena semua yang keluar dari lautan sudah dimiliki para dewa maka guci Amerta yang keluar terakhir diminta oleh para raksasa. Terjadilah pertengkaran sengit memperebutkan Guci Amerta antara para dewa dan para raksasa. Saat pertengkaran memuncak tiba-tiba dari gunung Mandara mengeluarkan racun yang mematikan siapa saja yang terkena.
Kedua pihak menjadi panik, dalam suasana mencekam seperti ini turunlah Dewa Siwa memberikan pertolongan. Racun yang mematikan tersebut diminumnya karena sakti hanya tenggorokannya saja yang terbakar dan akhirnya Dewa Siwa diberi nama "Si Leher Biru" atau Nilakantha. Dalam suasana kacau tersebut ternyata Guci Amerta telah jatuh di tangan para raksasa. Dewa Brahma menyamar sebagai bidadari dan berhasil mencuri Guci Amerta dari para raksasa untuk diserahkan kepada para dewa.
Cerita tersebut terpahat dalam bentuk relief di Candi Kesimantengah dan pada sebuah candi miniatur yang berasal dari Ampelgading,
Danang WF
XII IPA 2/30
No comments:
Post a Comment