Friday, 13 February 2009

astagini P / XII a 1 _ 28

*Princess Tandampalik*

KING of Luwu had a very beautiful daughter. Her name was Princess Tandampalik. She was very beautiful. Any man who saw her would fall in love with her. Everybody knew about her beauty, including King of Bone. Bone was a kingdom that was far away from Luwu Kingdom. Then, King of Bone paid a visit to Luwu in order to propose Princess Tandampalik to be her daughter in-law. His son, Prince of Bone, was still single. King of Luwu actually did not want to accept the proposal. According to the culture, he could not have a son-in-law who lived very far from him. Otherwise, he would suffer from terrible disease. But, he knew if he refused it, kingdom of Bone would attack Luwu. Many of his people would suffer. After that, King of Bone came to Luwu and talked about the marriage proposal. King of Luwu said he needed time to decide. King of Bone understood and went home. Suddenly, a bad thing happened. Princess Tandampalik was ill. She got skin rash. The kingdom healer said the disease could infect others. The king then decided to put the princess in a safe place. It was in a remote island named Wajo Island. The princess was not alone. Some soldiers accompanied her. The princess was sad. But she knew if she stayed in the kingdom, many people would be infected. So she was not angry with her father for making her stay in a remote island. Several days after Princess Tandampalik lived in Wajo Island, a cow came to her. The cow was different from other cows. The skin was albino. The cow licked Princess Tandampalik's skin. Amazingly, the disease was cured. Her skin was smooth again. Her beauty was back! In the mean time, Prince of Bone was sailing in the sea. He landed in Wajo Island. He was so surprised to see a very beautiful girl lived in such a remote island. "Wow, may be she is an angel," he thought. "Who are you, beautiful girl? Do you live here?" asked Prince of Bone. Princess Tandampalik then explained everything. Prince of Bone had heard about her before. He was so happy that he finally met her. He immediately brought Princess Tandampalik and the soldiers back to Luwu Kingdom. The King of Luwu was so happy that her daughter was cured. Not long after that, the King held a wedding party for her daughter and Prince of Bone.

*Puteri Tandampalik*

Raja Luwu mempunyai seorang gadis cantik. Namanya adalah Ratu Tandampalik. Dia sangat cantik. Setiap laki-laki yang melihatnya akan jatuh cinta kepadanya. Semua orang mengetahui tentang kecantikannya, termasuk Raja Bone. Bone adalah suatu kerajaan yang jauh sekali dari Kerajaan Luwu. Lalu, Raja Bone yang mengunjungi ke Luwu untuk mengusulkan Ratu Tandampalik untuk menjadi anggota kerabat besan putrinya. Putra Nya, Pangeran Bone, masih sendiri. Raja Luwu sebenarnya tidak ingin menerima perencanaan. Menurut kebudayaan, dia tidak bisa membiarkan seorang menantu yang tinggal sangat jauh dari dia. Jika tidak, ia akan menderita penyakit yang mengerikan. Tapi, dia mengetahui jika dia menolak itu, Kerajaan Bone akan menyerang Luwu. Banyak dari pengikutnya yang akan menderita. Setelah itu, Raja Bone dating ke Luwu dan berkata tentang rencana pernikahan. Raja Luwu berkata dia membutuhkan waktu untuk memutuskan. Raja Bone memahami dan pulang ke rumah. Tiba-tiba, suatu hal yang tidak baik terjadi. Ratu Tandampalik sedang sakit. Dia mendapat ruam kulit. Penyembuh kerajaan berkata penyakit itu bisa menginfeksi yang lain. Raja kemudian memutuskan untuk membawa ratu ke tempat yang aman. Itu adalah suatu pulau yang terpencil bernama Pulau Wajo. Ratu tidak sendirian. Beberapa prajurit menemani dia. Ratu sedih. Tapi dia mengetahui jika dia tinggal di Kerajaan, banyak orang yang akan terinfeksi. Jadi dia tidak marah dengan ayahnya setelah membuat dia tinggal dalan pulau terpencil. Suatu hari setelah Princess Tandampalik hidup di pulau Wajo, seekor sapi datang ke dia. Sapi itu yang berbeda dari sapi-sapi lainnya. Kulitnya tidak normal. Sapi menjilat kulit ratu Tandampalik. Dengan mengagumkan, penyakit itu terobati. Kulitnya halus lagi. Kecantikannya kembali! Sementara itu, Raja Bone berlayar ke laut. Dia mendarat di pulau Wajo. Dia sangat terkejut melihat seorang wanita cantik tinggal di pulau terpencil. “Wow, mungkin kah dia malaikat,”dia berpikir. “ Siapa kah kamu, gadis cantik? Apakah tinggal di sini?” Tanya Raja Bone. Ratu Tandampalik kemudian menjelaskan segalanya. Raja Bone telah mendengar tentangnya sebelumnya. Dia sangat senang akhirnya dia bertemu dengannya. Dia dengan segera membawa Putri Tandampalik dan prajuritnya kembali ke Kerajaan Lawu. Raja Lawu sangat senang putrinya telah sembuh. Tak lam setelah itu, Raja mengadakan pesta pernikahan putrinya dengan Raja Bone.

*Astagini Puri Mantofany*
*XII a 1/ 28*

melati p.n/24/XII IPA IV

Georgie Tempat berlindung mewawancarai oleh Harga Jami dan Tonia Putih

pengisahan oleh Jessica DeHart

Nama saya adalah Georgie Havens dan aku dilahirkan di Suiter dalam 1928. Orang tuaku adalah Beatrice dan MC. Stacy. Ibuku menjalankan suatu rumah sewa pada Suiter dan ayahku bekerja untuk Virginia Hardwood Lumber Company. Ibuku adalah orang sangat tegas, religius, dan ayahku menemaninya.
Nenekku dan Grandfather Stacy adalah dari Wise County. ayah Bunda meninggal ketika dia masih bayi. Dia adalah Quillen dan ibunya menikah lagi;bolak-balik ke Indiana. Kakek dan nenekku adalah petani-petani. Aku tidak mengetahui apa yang mereka suka.Aku tidak pernah dapat ke temu bagian dari mereka.
Aku mempunyai sembilan saudara-saudara. Ada sebanyak enam anak-anak perempuan kita(kami dan tiga anak-anak lelaki dan kita semua sudah mengundurkan diri sekarang. Kita semuanya adalah tinggal dan kita semuanya adalah yang dipensiunkan sekarang. Tak seorang pun meloloskan diri nothingThe anak-anak perempuan tidak mengeroyok orang-orang. Kita mempunyai satu saudara bahwa selalu menjengkelkan kita(kami anak-anak perempuan lebih dari yang istirahat mereka.

Kita membuat mainan-mainan kita sendiri. Kita memainkan dongkrak mengayun-ayun. Kita membuat gedung komidi kita sendiri yang kecil, dan kita lakukan berenang. Tentu saja, kita bekerja di dalam kebun binatang: -cr tukang kebun: kita(kami untuk ibu kita(kami dan kita membantu orang tua kita(kami. Dongkrak mengayun-ayun adalah suatu game dengan peices metal yang kecil dan di sana adalah suatu peluru/bola dengannya. Anda dapat mendapat mereka di dalam [gudang/ toko] sekarang.

Beberapa pekerjaan sehari-hari di sekitar rumah itu sedang mencuci pinggan-pinggan, mengganti personil, dan di mana kita biasa tinggal, kita harus membawa air. Semua sembilan kita(kami mempunyai berbagai hal, kita harus lakukan.

Kita [tinggal/hidup] di rumah-rumah yang berbeda. Kita [tinggal/hidup] di suatu rumah sewa ketika aku sedikit, lalu kita pindah ke dengan Virginia Hardwood Company kepada sampai ke Wolfe Cree



Georgie Havens interview by Jami Price and Tonia White
narration by Jessica DeHart


My name is Georgie Havens and I was born in Suiter in 1928. My parents were Beatrice and M.C. Stacy. My mother ran a boarding house at Suiter and my father worked for the Virginia Hardwood Lumber Company. My mother was a very strict, religious person, and my father went along with her.
My Grandmother and Grandfather Stacy were from Wise County. Mother’s father died when she was a baby. She was Quillen and her mother married again and moved to Indiana. My grandparents were farmers. I don’t know what they were like. I never did get to meet part of them.
I had nine brothers and sisters. There’s six of us girls and three boys and we’ve all retired now. We’re all living and we’re all retired now. None of us got away with nothing.The girls didn’t gang up on the guys. We had one brother that always aggravated us girls more than the rest of them.
We made our own toys. We played jack rocks. We made our own little playhouses, and we did swimming. Of course, we worked in our gardens for our mother and we helped our parents. Jack rocks is a game with little metal peices and there’s a ball with it. You can get them in stores now.
Some chores around the house were washing dishes, cleaning house, and where we used to live, we had to carry water. All nine of us had things we had to do.
We lived in different homes. We lived in a boarding house when I was little, then we moved in with Virginia Hardwood Company to up to Wolfe Cree

Thursday, 12 February 2009

Timun Mas

Long long time ago, there was a farmer couple. They were staying in a village near a forest. They lived happily. Unfortunately, they hadn’t had any children yet.
Every day they prayed to God for a child. One day a giant passed their home. He heard what they were praying. Then the giant gave them a cucumber seed.
"Plant this seed, then you’ll get a daughter,” said the giant. “Thank you, Giant,” said the couple. “But in one condition, in her 17-th birthday, you must give her to me,” said the Giant. The couple wanted a child so much that they agreed without thinking first.
Then the couple planted the cucumber seed. Each day they took care the growing plant so carefully. Months later, a golden cucumber grew from the plant. The cucumber was getting heavier and bigger each day. When it was ripe, they picked it. Carefully they cut out the cucumber and how surprised were they when they found a beautiful baby inside. They were so happy. They named the baby Timun Mas, or Golden Cucumber.
Years were passing by and Timun Mas had grown into a beautiful girl. Her parents were very proud of her. But their happiness turned to fear when her 17th birthday came. The giant returned to ask for their promise. He was going to take Timun Mas away.
The farmer tried to be calm. “Just a moment, please. Timun Mas is playing. My wife will call her,” he said. Then the farmer came to his daughter. “My child, take this,” as he was giving her a little bag to Timun Mas. “This will help you from the giant. Now, run as fast as you can,” he ordered. So Timun Mas ran away.
The couple was very sad about her leaving. But they didn’t want the giant to eat Timun Mas. Meanwhile, the giant had been waiting for too long. He became impatient. Somehow he knew that the couple had lied to him. So he destroyed their house and ran for Timun Mas.
The giant was chasing Timun Mas and he was getting closer and closer. Timun Mas then took a handful of salt from her little bag. She spread out the salt behind her. Suddenly a wide sea appeared between them. The giant had to swim to reach her
Timun Mas was still running, but now the giant almost caught her. Then she took some chilly and threw them to the giant. The chilly suddenly grew into some trees and trapped the giant. The trees grew some thorns as sharp as a knife. The giant screamed painfully. At the mean time, Timun Mas could escape again.
But the giant was very strong. Again he almost caught Timun Mas. So Timun Mas took the third magic stuff, the cucumber seeds. She threw the seeds and suddenly they became a wide cucumber field. The giant was very tired and hungry so he ate those fresh cucumbers. He ate too much that he felt sleepy and fell asleep soon.
Timun Mas kept on running as fast as she could. But soon she was very tired herself. To make things worse, the giant had woken up! Timun Mas was so scared. Desperately she then threw her last weapon, terasi (a kind of shrimp pasta). IT did a miracle again. The pasta became a big swamp. The giant fell into it but his hands almost reached Timun Mas. Suddenly the lake pulled him to the bottom. The giant panicked and he couldn’t breathe. At last he was drown.
Timun Mas was very relieved. She was safe now. Then she returned to her parents’ house. Her parents were of course very happy to see their daughter safe and sound. “Thanks God. You have saved my daughter,” they cried happily. From then on, Timun Mas lived happily with her parents with no fear anymore.



Timun Mas

Pada jaman dahulu ada sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di desa dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya, mereka tidak mempunyai anak.
Setiap hari, mereka berdoa kepada Tuhan untuk seorang anak. Suatu hari, raksasa melewati rumah mereka. Dia mendengar doa petani. Kemudian, raksasa memberi mereka sebuah biji timun.
“Tanam biji ini, maka kalian akan mendapatkan seorang anak perempuan.”kata raksasa. “Terimakasih, raksasa.”kata petani itu. “Tapi suatu saat nanti, ketika dia berumur 17 tahun, kalian harus memberikan dia kepadaku,”kata raksasa. Pasangan itu sangan menginginkan seorang anak maka mereka menyetujuinya tanpa berpikir dahulu.
Kemudian pasangan itu menanam biji mentimun tersebut. Setiap hari mereka merawat tanaman yang tumbuh dengan sangat hati-hati. Beberapa bulan kemudian, sibuah mentimun emas tumbuh dari tanaman itu. Mentimun itu semakin bertambah berat dan besar setiap hari. Ketika sudah masak,mereka mengambilnya. Dengan hati-hati, mereka membelah mentimun itu dan betapa terkejutnya mereka, ketika mereka menemukan seorang bayi yang cantik di dalamnya. Mereka sangat gembira. Mereka menamakan bayi itu Timun Mas.
Bertahun-tahun telah dilewati dan Timun Mas tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik. Orang tuanya sangat bangga kepadanya. Tetapi, kebahagiaan mereka berubah menjadi ketakutan ketika ulang tahun ke17 nya tiba. Raksasa kembali untuk menagih janji mereka. Dia akan membawa pergi Timun Mas.
Petani itu mencoba untuk tenang. “Tolong tunggu sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan memanggilnya,”kata petani. Kemudian petani itu menemui anak perempuannya. “Anakku, bawalah ini,” katanya,sambil memberikan sebuah tas kecil kepada Timun Mas. “Ini akan menyelamatkanmu dari raksasa. Sekarang, larilah secepat yang kamu bisa,” perintahnya. Maka, Timun Mas berlari.
Pasangan itu sangat sedih atas kepergian Timun Mas. Tetapi mereka tidak ingin raksasa itu memekan Timun Mas. Sementara itu, raksasa telah menunggu terlalu lama. Dia menjadi tidak sabar. Bagaimanapun juga dia tahu bahwa pasangan itu berbohong kepadanya. Maka, dia menghancurkan rumah mereka dan mengejar Timun Mas.
Raksasa itu mengejar Timun Mas dan dia menjadi semakin dekat. Kemudian Timun Mas mengambil segenggam garam dari tas kecilnya. Dia menyebarkan garam itu ke belakangnya. Tiba-tiba, sebuah laut yang luas muncul diantara mereka. Raksasa itu harus berenang untuk menjangkaunya.
Timun Mas terus berlari, tetapi sekarang raksasa itu hamper menangkapnya. Kemudian dia mengambil beberapa cabai dan melempar mereka kea rah raksasa. Cabai itu tiba-tiba tumbuh menjadi beberapa pohon dan menjerat raksasa itu. Pohon-pohon itu ditumbuhi beberapa duri setajam pisau. Raksasa berteriak kesakitan. Pada saat itu, Timun Mas dapat melarikan diri lagi.
Tetapi, raksasa itu sangat kuat. Dia dapat hamper menangkap Timun Mas lagi. Maka, Timun Mas mengambil barang ajaib yang ketiga, biji mentimun. Dia melemparkan biji-biji itu dan tiba-tiba mereka berubah menjadi ladang mentimun yang luas. Raksasa kelelahan dan kelaparan jadi dia memakan mentimun segar itu. Dia makan terlalu banyak jadi dia merasa nagntuk dan tertidur dengan segera.
Timun Mas tetap berlari secepan yang dia bisa. Tetapi dia merasa sangat kelelahan. ….. , raksasa itu bangun! Timun Mas sangat ketakutan. Dengan susah payah, dia kemudian melempar senjata terakhirnya, terasi (salah atu jenis pasta udang). Trejadi keajaiban lagi. Pasta itu menjadi rawa yang besar. Raksasa jatuh kedalamnya tetapi tangannya hamper menjangkau Timun Mas. Tiba-tiba danau itu menariknya ke dasar. Raksasa ketakutan dan dia tidak dapat bernapas. Akhirnya dia tenggelam.
Timun Mas sangat lega. Dia sudah aman sekarang. Kemudian dia kembali ke rumah orang tuanya. Orang tuanya tentu sangat bahagia dapat melihat anak perempuan mereka selamat. “Terimakasih Tuhan. Engkau telah menyelamatkan anakku,”mereka terharu. Sejak saat itu, Timun Mas hidup bahagia dengan orang tuanya tanpa ada ketakutan lagi.



Kartikasari Yudaninggar
XII IPA 2 / 22
Timun Mas

Long long time ago, there was a farmer couple. They were staying in a village near a forest. They lived happily. Unfortunately, they hadn’t had any children yet.
Every day they prayed to God for a child. One day a giant passed their home. He heard what they were praying. Then the giant gave them a cucumber seed.
"Plant this seed, then you’ll get a daughter,” said the giant. “Thank you, Giant,” said the couple. “But in one condition, in her 17-th birthday, you must give her to me,” said the Giant. The couple wanted a child so much that they agreed without thinking first.
Then the couple planted the cucumber seed. Each day they took care the growing plant so carefully. Months later, a golden cucumber grew from the plant. The cucumber was getting heavier and bigger each day. When it was ripe, they picked it. Carefully they cut out the cucumber and how surprised were they when they found a beautiful baby inside. They were so happy. They named the baby Timun Mas, or Golden Cucumber.
Years were passing by and Timun Mas had grown into a beautiful girl. Her parents were very proud of her. But their happiness turned to fear when her 17th birthday came. The giant returned to ask for their promise. He was going to take Timun Mas away.
The farmer tried to be calm. “Just a moment, please. Timun Mas is playing. My wife will call her,” he said. Then the farmer came to his daughter. “My child, take this,” as he was giving her a little bag to Timun Mas. “This will help you from the giant. Now, run as fast as you can,” he ordered. So Timun Mas ran away.
The couple was very sad about her leaving. But they didn’t want the giant to eat Timun Mas. Meanwhile, the giant had been waiting for too long. He became impatient. Somehow he knew that the couple had lied to him. So he destroyed their house and ran for Timun Mas.
The giant was chasing Timun Mas and he was getting closer and closer. Timun Mas then took a handful of salt from her little bag. She spread out the salt behind her. Suddenly a wide sea appeared between them. The giant had to swim to reach her
Timun Mas was still running, but now the giant almost caught her. Then she took some chilly and threw them to the giant. The chilly suddenly grew into some trees and trapped the giant. The trees grew some thorns as sharp as a knife. The giant screamed painfully. At the mean time, Timun Mas could escape again.
But the giant was very strong. Again he almost caught Timun Mas. So Timun Mas took the third magic stuff, the cucumber seeds. She threw the seeds and suddenly they became a wide cucumber field. The giant was very tired and hungry so he ate those fresh cucumbers. He ate too much that he felt sleepy and fell asleep soon.
Timun Mas kept on running as fast as she could. But soon she was very tired herself. To make things worse, the giant had woken up! Timun Mas was so scared. Desperately she then threw her last weapon, terasi (a kind of shrimp pasta). IT did a miracle again. The pasta became a big swamp. The giant fell into it but his hands almost reached Timun Mas. Suddenly the lake pulled him to the bottom. The giant panicked and he couldn’t breathe. At last he was drown.
Timun Mas was very relieved. She was safe now. Then she returned to her parents’ house. Her parents were of course very happy to see their daughter safe and sound. “Thanks God. You have saved my daughter,” they cried happily. From then on, Timun Mas lived happily with her parents with no fear anymore.



Timun Mas

Pada jaman dahulu ada sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di desa dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya, mereka tidak mempunyai anak.
Setiap hari, mereka berdoa kepada Tuhan untuk seorang anak. Suatu hari, raksasa melewati rumah mereka. Dia mendengar doa petani. Kemudian, raksasa memberi mereka sebuah biji timun.
“Tanam biji ini, maka kalian akan mendapatkan seorang anak perempuan.”kata raksasa. “Terimakasih, raksasa.”kata petani itu. “Tapi suatu saat nanti, ketika dia berumur 17 tahun, kalian harus memberikan dia kepadaku,”kata raksasa. Pasangan itu sangan menginginkan seorang anak maka mereka menyetujuinya tanpa berpikir dahulu.
Kemudian pasangan itu menanam biji mentimun tersebut. Setiap hari mereka merawat tanaman yang tumbuh dengan sangat hati-hati. Beberapa bulan kemudian, sibuah mentimun emas tumbuh dari tanaman itu. Mentimun itu semakin bertambah berat dan besar setiap hari. Ketika sudah masak,mereka mengambilnya. Dengan hati-hati, mereka membelah mentimun itu dan betapa terkejutnya mereka, ketika mereka menemukan seorang bayi yang cantik di dalamnya. Mereka sangat gembira. Mereka menamakan bayi itu Timun Mas.
Bertahun-tahun telah dilewati dan Timun Mas tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik. Orang tuanya sangat bangga kepadanya. Tetapi, kebahagiaan mereka berubah menjadi ketakutan ketika ulang tahun ke17 nya tiba. Raksasa kembali untuk menagih janji mereka. Dia akan membawa pergi Timun Mas.
Petani itu mencoba untuk tenang. “Tolong tunggu sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan memanggilnya,”kata petani. Kemudian petani itu menemui anak perempuannya. “Anakku, bawalah ini,” katanya,sambil memberikan sebuah tas kecil kepada Timun Mas. “Ini akan menyelamatkanmu dari raksasa. Sekarang, larilah secepat yang kamu bisa,” perintahnya. Maka, Timun Mas berlari.
Pasangan itu sangat sedih atas kepergian Timun Mas. Tetapi mereka tidak ingin raksasa itu memekan Timun Mas. Sementara itu, raksasa telah menunggu terlalu lama. Dia menjadi tidak sabar. Bagaimanapun juga dia tahu bahwa pasangan itu berbohong kepadanya. Maka, dia menghancurkan rumah mereka dan mengejar Timun Mas.
Raksasa itu mengejar Timun Mas dan dia menjadi semakin dekat. Kemudian Timun Mas mengambil segenggam garam dari tas kecilnya. Dia menyebarkan garam itu ke belakangnya. Tiba-tiba, sebuah laut yang luas muncul diantara mereka. Raksasa itu harus berenang untuk menjangkaunya.
Timun Mas terus berlari, tetapi sekarang raksasa itu hamper menangkapnya. Kemudian dia mengambil beberapa cabai dan melempar mereka kea rah raksasa. Cabai itu tiba-tiba tumbuh menjadi beberapa pohon dan menjerat raksasa itu. Pohon-pohon itu ditumbuhi beberapa duri setajam pisau. Raksasa berteriak kesakitan. Pada saat itu, Timun Mas dapat melarikan diri lagi.
Tetapi, raksasa itu sangat kuat. Dia dapat hamper menangkap Timun Mas lagi. Maka, Timun Mas mengambil barang ajaib yang ketiga, biji mentimun. Dia melemparkan biji-biji itu dan tiba-tiba mereka berubah menjadi ladang mentimun yang luas. Raksasa kelelahan dan kelaparan jadi dia memakan mentimun segar itu. Dia makan terlalu banyak jadi dia merasa nagntuk dan tertidur dengan segera.
Timun Mas tetap berlari secepan yang dia bisa. Tetapi dia merasa sangat kelelahan. ….. , raksasa itu bangun! Timun Mas sangat ketakutan. Dengan susah payah, dia kemudian melempar senjata terakhirnya, terasi (salah atu jenis pasta udang). Trejadi keajaiban lagi. Pasta itu menjadi rawa yang besar. Raksasa jatuh kedalamnya tetapi tangannya hamper menjangkau Timun Mas. Tiba-tiba danau itu menariknya ke dasar. Raksasa ketakutan dan dia tidak dapat bernapas. Akhirnya dia tenggelam.
Timun Mas sangat lega. Dia sudah aman sekarang. Kemudian dia kembali ke rumah orang tuanya. Orang tuanya tentu sangat bahagia dapat melihat anak perempuan mereka selamat. “Terimakasih Tuhan. Engkau telah menyelamatkan anakku,”mereka terharu. Sejak saat itu, Timun Mas hidup bahagia dengan orang tuanya tanpa ada ketakutan lagi.



Kartikasari Yudaninggar
XII IPA 2 / 22

TANGKUBAN PERAHU

This is an example of how nature was converted into a legend, such as Bandung lake and Mt Tangkuban Perahu with the story of Queen Dayang Sumbi and her son Sangkuriang cited from Neuman va Padang (1971). Once Sangkuriang, whilst growing up, he was so naughty and got hurt and the wound formed an ugly scar.
The King, who loved his son above everything was so furious that his son had hurt himself that he rejected his wife. Fifteen years later, being of age, Sangkuriang asked his father permission to take a trip to West Java. After arriving in the plain of Bandung, he met a beautiful lady, fell in love and ask her to marry him and she accepted. But one day when she caressed her lover’s head she saw the wound. The loving woman, turned out to be the disowned queen, discovered that she was in love with her son and marriage was impossible.
The marriage had to be prevented. Not willing to admit that she was his mother she thought of a way out. The day before the wedding was due to take place, she said to her husband to be, tomorrow is our wedding day, and if you are true to your love to me and love me as much you say do then I want to celebrate the wedding on board a ship, a proa. Tomorrow morning at day break, I want to sail with you on a great lake in a nice boat and there must be a banquet feast. Sangkuriang was embarrassed but he was not willing to refuse. He begged the help of the lake’s helpful spirits. By causing a landslide, the lake spirit dammed the river Citarum that flowed through the plain of Bandung. The force of the water felled big tree and a boat was constructed while other lake spirits prepared the wedding banquet.
Early in the morning the Queen saw that the impossible had been realised so she prayed to Brama, the mighty God, to help her to prevent the disgrace of a marriage between a mother and her son. Brama destroyed the dam in turbulence and Sangkuriang was drowned. The queen in her agony threw herself on the capsized boat, breaking through the hull of the ship and was also drowned.
Now, the vast plain of Bandung is flanked on its north side by the volcano Tangkuban Perahu, the capsized boat. The Queen’s jump on the hull of the ship is the Kawah Ratu, the crater of the Queen. The hot fumaroles and tremors in the crater represent the tears of the sad mother still sobbing. East of Mt Tangkuban Perahu rises the Bukit Tunggul, trunk mountain, the trunk of the tree from which the boat was made and to the west we find Mt Burangrang, the “crown of leaves”. At many places along the shore of the lake Neolithic obsidian tools of primitive inhabitants are found and described by von Koeningswald (1935). These Neolithic people noticed that the hold was cut deeper and deeper by erosion caused by the lowering water. Finally only a marshy plain remained.
Centuries later the inhabitants of Bandung plain still know about the legend of the existence of a former lake. Not knowing anything about geology, but living in the taboos of spirit ghosts and Gods, geological facts were put together in a tale that was understandable.



Ini adalah contoh bagaimana alam telah dikonversi menjadi legenda, seperti danau Bandung dan Gunung Tangkuban Perahu dengan cerita Ratu Dayang Sumbi dan Sangkuriang anaknya dikutip dari Neuman va Padang (1971). Setelah Sangkuriang, sementara tumbuh dewasa, dia jadi nakal dan terluka dan mendapat luka yang meninggalkan bekas luka. Raja, yang mengasihi anaknya di atas segalanya sangat hebat anaknya yang telah menyakiti dirinya bahwa ia menolak istrinya. Lima belas tahun kemudian, karena usia, Sangkuriang ditanya ayahnya izin untuk bepergian ke Jawa Barat. Setelah tiba di dataran Bandung, ia bertemu dengan seorang wanita cantik, jatuh cinta dan meminta dia untuk menikahi dia dan dia diterima. Tetapi satu hari ketika ia caressed her lover kepala dia melihat luka. Wanita yang penuh kasih, ternyata menjadi disowned ratu, menemukan bahwa dia cinta dengan anaknya dan perkawinan adalah mustahil. Perkawinan harus dicegah. Tidak mau mengakui bahwa dia adalah ibunya dia pemikiran jalan keluar. Hari sebelum pernikahan itu karena terjadi, dia berkata kepada suaminya yang akan, besok adalah hari pernikahan kami, dan jika Anda benar Anda suka saya dan saya kasih sebanyak apa yang Anda katakan kemudian saya ingin merayakan pernikahan pada papan sebuah kapal, sebuah perahu. Besok pagi pada jam istirahat, saya ingin berlayar dengan Anda di danau yang besar dalam nice perahu dan harus ada suatu perjamuan pesta. Sangkuriang telah malu tetapi dia tidak bersedia untuk menolak. Dia begged bantuan danau dari helpful roh. Oleh menyebabkan tanah longsor, danau semangat dammed sungai Citarum yang dialirkan melalui dataran Bandung. Kekuatan air roboh dan pohon besar, kapal ini dibuat sementara lainnya danau roh mempersiapkan perjamuan pernikahan. Pagi-pagi Ratu melihat bahwa mungkin telah menyadari sehingga ia berdoa kepada Brama, Allah yang kuat, untuk membantunya untuk mencegah fadihat dari perkawinan antara ibu dan anaknya. Brama menghancurkan bendungan dalam kerusuhan dan Sangkuriang telah tenggelam. Ratu di sekarat melemparkan diri pada capsized perahu, melanggar melalui hull dari kapal dan juga tenggelam. Kini, luas biasa dari Bandung flanked pada sisi utara oleh gunung berapi Tangkuban Perahu, yang capsized perahu. The Queen's melompat pada hull dari kapal adalah Kawah Ratu, kawah yang dari Queen. Fumaroles yang panas dan tremors di kawah mewakili air mata dari ibu masih sedih tersedu. Timur Gunung Tangkuban Perahu meningkat di Bukit Tunggul, gunung batang, yang batang pohon dari perahu yang dibuat dan di sebelah barat kami menemukan Gunung Burangrang, yang "mahkota daun". Di banyak tempat di sepanjang pantai danau Obsidian alat berkenaan dgn jaman batu baru dari penduduk primitif yang ditemukan dan dijelaskan oleh von Koeningswald (1935). Berkenaan dgn jaman batu baru ini bahwa orang yang terus memotong dan lebih mendalam oleh erosi yang disebabkan oleh penurunan air. Akhirnya hanya rawa tetap polos. Abad kemudian penduduk Bandung masih polos tentang legenda mengetahui keberadaan mantan danau. Tidak mengetahui apapun tentang geologi, tetapi tinggal di taboos ghosts dan roh dari Allah, geologi telah mengumpulkan fakta-fakta dalam cerita yang dapat dimengerti.


CHARULI TIKAWATI
15 /XII A1

SANGKURIANG

Pada jaman dahulu kala, di tatar Parahyangan, berdiri sebuah kerajaan yang gemah ripah lohjinawi kerta raharja. Tersebutlah sang prabu yang gemar olah raga berburu binatang, yang senantiasa ditemani anjingnya yang setia, yang bernama "Tumang".
Pada suatu ketika sang Prabu berburu rusa, namun telah seharian hasilnya kurang menggembirakan. Binatang buruan di hutan seakan lenyap ditelan bumi. Ditengah kekecewaan tidak mendapatkan binatang buruannya, sang Prabu dikagetkan dengan nyalakan anjing setianya "Tumang" yang menemukan seorang bayi perempuan tergeletak diantara rimbunan rerumputan. Alangkah gembiranya sang Prabu, ketika ditemukannya bayi perempuan yang berparas cantik tersebut, mengingat telah cukup lama sang Prabu mendambakan seorang putri, namun belum juga dikaruniai anak. Bayi perempuan itu diberi nama Putri Dayangsumbi.
Alkisah putri Dayngsumbi nan cantik rupawan setelah dewasa dipersunting seorang pria, yang kemudian dikarunia seorang anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang yang juga kelak memiliki kegemaran berburu seperti juga sang Prabu. Namun sayang suami Dayangsumbi tidak berumur panjang.
Suatu saat, Sangkuriang yang masih sangat muda belia, mengadakan perburuan ditemani anjing kesayangan sang Prabu yang juga kesayangan ibunya, yaitu Tumang. Namun hari yang kurang baik menyebabkan perburuan tidak memperoleh hasil binatang buruan. Karena Sangkuriang telah berjanji untuk mempersembahkan hati rusa untuk ibunya, sedangkan rusa buruan tidak didapatkannya, maka Sangkuriang nekad membunuh si Tumang anjing kesayangan ibunya dan juga sang Prabu untuk diambil hatinya, yang kemudian dipersembahkan kepada ibunya.
Ketika Dayangsumbi akhirnya mengetahui bahwa hati rusa yang dipersembahkan putranya tiada lain adalah hati "si Tumang" anjing kesayangannya, maka murkalah Dayangsumbi. Terdorong amarah, tanpa sengaja, dipukulnya kepala putranya dengan centong nasi yang sedang dipegangnya, hingga menimbulkan luka yang berbekas. Sangkuriang merasa usaha untuk menggembirakan ibunya sia-sia, dan merasa perbuatannya tidak bersalah. Pikirnya tiada hati rusa, hati anjingpun jadilah, dengan tidak memikirkan kesetiaan si Tumang yang selama hidupnya telah setia mengabdi pada majikannya. Sangkuriangpun minggat meninggalkan kerajaan, lalu menghilang tanpa karana.
Setelah kejadian itu Dayangsumbi merasa sangat menyesal, setiap hari ia selalu berdoa dan memohon kepada Hyang Tunggal, agar ia dapat dipertemukan kembali dengan putranya. Kelak permohonan ini terkabulkan, dan kemurahan sang Hyang Tunggal jualah maka Dayangsumbi dikaruniai awet muda. Syahdan Sangkuriang yang terus mengembara, ia tumbuh penjadi pemuda yang gagah perkasa, sakti mandraguna apalgi setelah ia berhasil menaklukan bangsa siluman yang sakti pula, yaitu Guriang Tujuh.
Dalam suatu saat pengembaraannya, Sangkuriang tanpa disadarinya ia kembali ke kerajaan dimana ia berasal. Dan alur cerita hidup mempertemukan ia dengan seorang putri yang berparas jelita nan menawan, yang tiada lain ialah putri Dayangsumbi. Sangkuriang jatuh hati kepada putri tersebut, demikianpula Dayangsumbi terpesona akan kegagahan dan ketampanan Sangkuriang, maka hubungan asmara keduanya terjalinlah. Sangkuriang maupun Dayangsumbi saat itu tidak mengetahui bahwa sebenarnya keduanya adalah ibu dan anak. Sangkuriang akhirnya melamar Dayangsumbi untuk dipersunting menjadi istrinya.
Namun lagi lagi alur cerita hidup membuka tabir yang tertutup, Dayangsumbi mengetahui bahwa pemuda itu adalah Sangkuriang anaknya, sewaktu ia melihat bekas luka dikepala Sangkuriang, saat ia membetulkan ikat kepala calon suaminya itu. Setelah merasa yakin bawa Sangkuriang anaknya, Dayangsumbi berusaha menggagalkan pernikahan dengan anaknya. Untuk mempersunting dirinya, Dayangsumbi mengajukan dua syarat yang harus dipenuhi Sangkuriang dengan batas waktu sebelum fajar menyingsing.
Syarat pertama, Sangkuriang harus dapat membuat sebuah perahu yang besar. Syarat kedua, Sangkuriang harus dapat membuat danau untuk bisa dipakai berlayarnya perahu tersebut.
Sangkuriang menyanggupi syarat tersebut, ia bekerja lembur dibantu oleh wadiabalad siluman pimpinan Guriang Tujuh untuk mewujudkan permintaan tersebut. Kayu kayu besar untuk perahu dan membendung sungai Citarum, ia dapatkan dari hutan di sebuah gunung yang menurut legenda kelak diberi nama Gunung Bukit Tunggul. Adapun ranting dan daun dari pohon yang dipakai kayunya, ia kumpulkan disebuah bukit yang diberi nama gunung Burangrang.
Sementara itu Dayangsumbi-pun memohon sang Hyang Tunggal untuk menolongnya, menggagalkan maksud Sangkuriang untuk memperistri dirinya.
Sang Hyang Tunggal mengabulkan permohonan Dayangsumbi, sebelum pekerjaan Sangkuriang selesai, ayampun berkokok dan fajar menyingsing. Sangkuriang murka, mengetahui ia gagal memenuhi syarat tersebut, ia menendang perahu yang sedang dibuatnya. Perahu akhirnya jatuh menelungkup dan menurut legenda kelak jadilah Gunung Tangkubanparahu, sementara aliran Sungai Citarum yang dibendung sedikit demi sedikit membentuk danau Bandung.



Once upon a time, in the Tatar Parahyangan, established a kingdom that peaceful. The Sovereign have the love of sport hunting of animals, who always accompanied the faithful dog, called "Tumang."
The Sovereign when the deer hunting, but the results have been less brisk day. Game disappeared in the forest as if the earth swallowed. The disappointment of not getting the animals prey, The Sovereign starled with the dogs turn on "Tumang" who find a baby among women sprawling grassyfield. Would the happy Prabu, when finding a baby look beautiful woman who is, has been a long time considering the long the Sovereign a daughter, but also was not the child. Her baby daughter is named Dayangsumbi.
Once upon a time daughter Dayangsumbi which beautiful looking after married an adult male, who then gifted a son who is named Sangkuriang also soon have a penchant for hunting as well as the The Sovereign. But unfortunately Dayangsumbi husband not long-lived.
One time, Sangkuriang the young is still very young, a hunting dog accompanied the love The Sovereign who also favored his mother, namely Tumang. But that day is less good cause does not get the hunting game. Because Sangkuriang has promised to dedicate to his mother's heart deer, deer while it does not be obtained, Sangkuriang to kill the dog and his mother also favored the Sovereign taken to heart, which then be devoted to his mother.
When finally Dayangsumbi heart to know that the deer are no other son is the heart "of the Tumang love dog, then angry Dayangsumbi. Pushed anger, accidentally, striked head of her son with the current rice rice ladle dipegangnya, cause injury to the receptacle. Sangkuriang feel brisk business for his mother's futile, and deeds do not feel guilty. This opinion no deer liver, heart dog morning, with no loyalty to think that during the Tumang has devoted his life to serve employers. Sangkuriangpun flee the kingdom to leave, and disappeared without footstep.
After incident that Dayangsumbi feel very sorry for every day he always pray and ask to Hyang Tunggal, so that he can come together back with her son. Soon answered this application, and the kindness Hyang Tunggal then Dayangsumbi was ageless. Sangkuriang continue to roam, he grew becomei the burly youth, magic evenless after he successfully to lose nation that invisible magic also, namely Guriang Seven.

In a time roamed, Sangkuriang without conscious he returned to the kingdom which he came. The story flows and bring it alive with a daughter who look lovely nan captivating, that no other is the daughter Dayangsumbi. Sangkuriang love to my daughter, and will be stunned Dayangsumbi bravery and smartness Sangkuriang, the love affair both compose. At that time Sangkuriang and Dayangsumbi did not know that they are actually mother and child. Sangkuriang Dayangsumbi eventually apply for married become his wife.

However more stories flow again to open the curtain of life that is closed, Dayangsumbi know that youth is Sangkuriang son, when he saw Sangkuriang of the scar, when he tied the correct candidate is her husband. After feeling confident Sangkuriang take her son, Dayangsumbi attempt to thwart her son's wedding. Gain for himself, Dayangsumbi put two conditions that must be met with Sangkuriang the time before dawn break.
Terms of the first, Sangkuriang must be able to make a big boat. Terms of the second, Sangkuriang should be able to make the lake can be used for boat to sail it.

Sangkuriang be prepared to do these requirements, he worked overtime, aided by invisible wadiabalad Seven Guriang leaders to realize the request. Timber wood for boat Citarum river and dam, he got from a mountain forest in the future according to legend was named Mount Hill Tunggul. The branches and leaves from the tree that is used wood, he collected in a hill called Mount Burangrang.
Meanwhile Dayangsumbi-sang also seeking to help him Hyang Tunggal, to thwart the purpose Sangkuriang marry him. Sang Hyang Tunggal grant application Dayangsumbi, Sangkuriang before work is finished, and boast rooster morning dawn. Sangkuriang anger, knowing he failed to meet these requirements, they are kicking the boat dibuatnya. Boat finally lie face down and according to legend soon be Mount Tangkubanparahu, while the flow of the Citarum River form little by little lake of Bandung.


WIGA DAMAYANTI
20 / XII A1

Wednesday, 11 February 2009

The story of Loro Jonggrang

Once upon a time, there was a kingdom named Prambanan. The people lived peacefully. However, soon their happy lives were disturbed by Pengging Kingdom. The king, Bandung Bondowoso, wanted to occupy Prambanan. He was a mean king. The war between Prambanan and Pengging could not be avoided. Prambanan lost the war and led by the new king, Bandung Bondowoso. Pengging could win the war because Bandung Bondongwoso had a supernatural power. His soldiers were not only humans but also genies. Those creatures always obeyed Bandung Bondowoso. They always did whatever Bandung Bondowoso asked them to do. The king of Prambanan had a beautiful daughter. Her name was Loro Jonggrang. Bandung Bondowoso fell in love with her and wanted to marry her. "If you want to marry me, you have to build a thousand of temples in just one night," said Loro Jonggrang. She hated Bandung Bondowoso because he made the people of Prambanan suffered. "What? Impossible! You just gave me an excuse for not marrying me!" said Bandung Bondowoso. But he did not give up. He asked the genies to help
him. Then all those genies worked hard to build the 1.000 temples. Meanwhile, Loro Jonggrang heard from the lady-inwaiting that the building of 1.000 temples was almost finished. She was so scared; she did not want to marry Bandung Bondowoso. And then she had a great idea. She asked all the ladies-inwaiting to help her. "Please prepare a lot of straw and mortar. Come on! Hurry up!" said Loro Jonggrang. All those ladies-in-waiting were confused. They did not know why Loro Jonggrang asked them to prepare a lot of straw and mortars in the middle of the night. "Listen, all those genies are building the temples, right? We have to stop them by burning the straw and make some noise by pounding the mortar. The genies will think that sun is going to rise and they will run away. Genies are afraid of sunlight." It worked! All those genies thought that sun rose. They did not know the light was from the fire that burning the straw. And the noise from pounding the mortar was like the start of a new day. Bandung Bondowoso was angry. He knew Loro Jonggrang just tricked him. "You cannot fool me, Loro Jonggrang. I already have 999 temples. I just need one more temple. Now, I will make you the one-thousandth temple." With his supernatural power, Bandung Bondowoso made Loro Jonggrang a temple. Until now, the temple is still standing in Prambanan area, Central Java. And the temple is named Loro Jonggrang temple

King Grisly-Beard

King Grisly-Beard

A great king of a land far away in the East had a daughter who was very beautiful, but so proud and haughty and conceited, that none of the princes who came to ask for her hand in marriage was good enough for her. All she ever did was make fun of them.

Once upon a time the king held a great feast and invited all her suitors. They all sat in a row, ranged according to their rank -- kings and princes and dukes and earls and counts and barons and knights. When the princess came in, as she passed by them, she had something spiteful to say to each one.

The first was too fat: 'He's as round as a tub,' she said.

The next was too tall: 'What a maypole!' she said.

The next was too short: 'What a dumpling!' she said.

The fourth was too pale, and she called him 'Wallface.'

The fifth was too red, so she called him 'Coxcomb.'

The sixth was not straight enough; so she said he was like a green stick that had been laid to dry over a baker's oven. She had some joke to crack about every one. But she laughed most of all at a good king who was there.

'Look at him,' she said; 'his beard is like an old mop; he shall be called Grisly-beard.' So the king got the nickname of Grisly-beard.

But the old king was very angry when he saw how his daughter behaved and how badly she treated all his guests. He vowed that, willing or unwilling, she would marry the first man that came to the door.

Two days later a travelling fiddler came by the castle. He began to play under the window and begged for money and when the king heard him, he said, 'Let him come in.'

So, they brought the dirty-looking fellow in and, when he had sung before the king and the princess, he begged for a gift.

The king said, 'You have sung so well that I will give you my daughter to take as your wife.'

The princess begged and prayed; but the king said, 'I have sworn to give you to the first man who came to the door, and I will keep my word.'

Words and tears were to no avail; the parson was sent for, and she was married to the fiddler.

<>

When this was over, the king said, 'Now get ready to leave -- you must not stay here -- you must travel with your husband.'

So the fiddler left the castle, and took the princess with him.

Soon they came to a great wood.

'Pray,' she said, 'whose is this wood?'

'It belongs to King Grisly-beard,' he answered; 'hadst thou taken him, all would have been thine.'

'Ah! unlucky wretch that I am!' she sighed; 'would that I had married King Grisly-beard!'

Next they came to some fine meadows.

'Whose are these beautiful green meadows?' she said.

'They belong to King Grisly-beard, hadst thou taken him, they would all have been thine.'

'Ah! unlucky wretch that I am!' she said; 'would that I had married King Grisly-beard!'

Then they came to a great city. 'Whose is this noble city?' she said.

'It belongs to King Grisly-beard; hadst thou taken him, it would all have been thine.'

'Ah! wretch that I am!' she sighed; 'why did I not marry King Grisly-beard?'

'That is no business of mine,' said the fiddler, 'why should you wish for another husband? Am I not good enough for you?'

At last they came to a small cottage. 'What a paltry place!' she said; 'to whom does that little dirty hole belong?'

The fiddler said, 'That is your and my house, where we are to live.'

'Where are your servants?' she cried.

'What do we want with servants?' he said; 'you must do for yourself whatever is to be done. Now make the fire, and put on water and cook my supper, for I am very tired.'

But the princess knew nothing of making fires and cooking, and the fiddler was forced to help her.

When they had eaten a very scanty meal they went to bed; but the fiddler called her up very early in the morning to clean the house.

They lived like that for two days and when they had eaten up all there was in the cottage, the man said, 'Wife, we can't go on thus, spending money and earning nothing. You must learn to weave baskets.'

Then the fiddler went out and cut willows, and brought them home, and she began to weave; but it made her fingers very sore.

'I see this work won't do,' he said, 'try and spin; perhaps you will do that better.'

<>

So she sat down and tried to spin; but the threads cut her tender fingers until the blood ran.

'See now,' said the fiddler, 'you are good for nothing; you can do no work. What a bargain I have got! However, I'll try and set up a trade in pots and pans, and you shall stand in the market and sell them.'

'Alas!' she sighed, 'if any of my father's court should pass by and see me standing in the market, how they will laugh at me!'

But her husband did not care about that, and said she would have to work if she did not want to die of hunger.

At first the trade went well because many people, seeing such a beautiful woman, went to buy her wares and paid their money without even thinking of taking away the goods. They lived on this as long as it lasted and then her husband bought a fresh lot of pots and pans, and she sat herself down with it in the corner of the market.

However, soon a drunken soldier soon came by and rode his horse against her stall and broke all her goods into a thousand pieces.

She began to cry, and did not know what to do. 'Ah! what will become of me?' she said; 'what will my husband say?' So she ran home and told him everything.

'Who would have thought you would have been so silly,' he said, 'as to put an earthenware stall in the corner of the market, where everybody passes? But let us have no more crying; I see you are not fit for this sort of work, so I have been to the king's palace, and asked if they did not want a kitchen-maid; and they say they will take you, and there you will have plenty to eat.'

So the princess became a kitchen-maid and helped the cook to do all the dirtiest work. She was allowed to carry home some of the meat that was left over, and they lived on that.

She had not been there long before she heard that the king's eldest son was passing by, on his way to get married. She went to one of the windows and looked out. Everything was ready and all the pomp and brightness of the court was there. Seeing it, she grieved bitterly for the pride and folly that had brought her so low. The servants gave her some of the rich meats and she put them into her basket to take home.

<>

All of a sudden, as she was leaving, in came the king's son in his golden clothes. When he saw such a beautiful woman at the door, he took her by the hand and said she should be his partner in the dance. She trembled with fear because she saw that it was King Grisly-beard, who was making fun of her. However, he kept hold of her, and led her into the hall. As she entered, the cover of the basket came off, and the meats in it fell out. Everybody laughed and jeered at her and she was so ashamed that she wished she were a thousand feet deep in the earth. She sprang over to the door so that she could run away but on the steps King Grisly-beard overtook her, brought her back and said:

'Fear me not! I am the fiddler who has lived with you in the hut. I brought you there because I truly loved you. I am also the soldier that overset your stall. I have done all this only to cure you of your silly pride, and to show you the folly of your ill-treatment of me. Now it is all over: you have learnt wisdom, and it is time to hold our marriage feast.'

Then the chamberlains came and brought her the most beautiful robes. Her father and his whole court were already there, and they welcomed her home. Joy was in every face and every heart. The feast was grand; they danced and sang; everyone was merry; and I only wish that you and I had been there.

Raja Grisly-Beard

Seorang raja agung di suatu daratan yang jauh sekali di Timur mempunyai seorang putri yang sangat cantik, tetapi sangat angkuh dan sombong, yang tidak ada satupun dari para pangeran yang datang melamarnya yang cukup baik untuknya. Dia tidak pernah membuat senang mereka.

Pada suatu waktu raja mengadakan suatu pesta agung dan mengundang semua peminangnya. Mereka semua duduk berturut-turut, bergerak menurut ranking mereka-- para raja dan para pangeran dan adipati dan gelar bangsawan dan gelar ningrat dan baron dan memberi gelar bangsawan. Ketika puteri masuk,dia melalui mereka, dia dengki untuk berkata kepada masing-masing.

Yang pertama adalah yang terlalu gemuk: ' Ia adalah seperti suatu bak mandi,' dia berkata.

Yang berikutnya adalah yang terlalu jangkung: ' Apa suatu maypole!' dia berkata.

Yang berikutnya adalah terlalu pendek: ' Apa suatu adonan!' dia berkata.

Yang keempat adalah yang terlalu pucat, dan dia memanggilnya ' Muka tembok,'

Yang ke lima adalah yang terlalu merah, maka dia memanggilnya ' Pesolek.'

yang keenam Tidaklah cukup lurus; maka dia berkata ia seperti suatu tongkat hijau yang telah diletakkan untuk mengeringkan di atas suatu tungku tukang roti. Dia mempunyai beberapa lelucon untuk membuat sekitarnya semua bertepuk. Tetapi dia tertawa hampir pada semua orang yang baik raja atau siapapun yang disana.

' Perhatikan dia,' dia berkata; ' jenggotnya seperti suatu kain pel tua; ia akan disebut Grisly-Beard.' Sehingga raja mendapat nama julukan Grisly-Beard.

Tetapi kaum tua raja adalah yang sangat marah ketika melihat bagaimana putrinya berkelakuan dan bagaimana dengan sangat buruk dia perlakukan semua tamunya. Ia berjanji bahwa, enggan atau rela, dia akan menikah dengan manusia pertama yang datang ke pintu.

Dua hari kemudiannya datang pemain biola di benteng itu. Ia mulai main di bawah jendela dan memohon untuk uang dan ketika raja mendengar dia, ia berkata, ' Biarkanlah Dia masuk.'

Maka, mereka membawa peserta yang yang kelihatan kotor ke dalam dan, ketika ia telah menyanyi di depan raja dan puteri, ia memohon untuk suatu hadiah.

Raja berkata, ' Kamu sudah menyanyi sangat baik bahwa aku akan memberimu putriku untuk mengambil menjadi isterimu.'

Puteri memohon dan berdoa; tetapi raja berkata, ' Aku sudah bersumpah akan memberikanmu kepada manusia pertama yang datang ke pintu, dan aku akan menepati janjiku .'

air mata dan Kata-Kata tidak akan ada manfaatnya; pendeta diminta, dan dia menikah dengan pemain biola.

Ketika ini selesai, raja dikatakan, ' Sekarang bersiap-siap untuk meninggalkan-- kamu harus tidak bertahan disini-- kamu harus pergi dengan suamimu.'

Sehingga pemain biola meninggalkan benteng, dan mengambil puteri dengannya.

Segera mereka datang ke suatu kayu agung.

' Doa,' dia berkata, ' siapa yang mempunyai kayu ini?'

' Itu kepunyaan Raja Grisly-Beard,' ia menjawab; ' hadst engkau mengambil dia, semua akan menjadi kepunyaanmu.'

' Ah! Aku adalah orang celaka yang tidak beruntung!' keluhnya; ' seandainya; jika sekiranya aku telah menikah Raja Grisly-Beard!'

berikutnya Mereka datang ke beberapa padang rumput bagus.

' siapa yang mempunyai padang rumput hijau indah ini?' katanya.

' Mereka kepunyaan Raja Grisly-Beard, hadst engkau mengambilnya, mereka semua akan telah menjadi kepunyaanmu.'

' Ah! Aku adalah orang celaka yang tidak beruntung!' katanya; ' seandainya; jika sekiranya aku telah menikah Raja Grisly-Beard!'

Kemudian mereka datang ke suatu kota besar agung. ' siapa yang mempunyai kota besar mulia ini?' katanya.

' Itu kepunyaan Raja Grisly-Beard; hadst engkau mengambilnya, itu semua akan telah menjadi kepunyaanmu.'

' Ah! Aku adalah orang celaka yang tidak beruntung!' keluhnya; ' mengapa aku tidak menikah Raja Grisly-Beard?'

' Itu tidak ada untuk bisnisku,' yang dikatakan pemain biola, ' mengapa kamu menginginkan suami yang lain ? Apakah aku tidak cukup baik untukmu?'

Pada akhirnya mereka datang ke suatu gubuk kecil. ' Apa suatu tempat tak berharga!' katanya; ' untuk siapa mengerjakan lubang yang kotor ini ?'

Pemain biola berkata, ' Itu adalah rumahku dan kamu, dimana untuk tinggal kita.'

' Dimana para pembantumu?' dia berteriak.

' Apa yang kita inginkan dengan para pembantu?' ia berkata; ' kamu harus lakukan untuk diri anda apapun juga yang harus dilaksanakan. Sekarang membuat api, dan mengenakan air dan juru masak makan malamku, karena Aku sangat lelah.'

Tetapi puteri tidak mengenal apapun bagaimana membuat masakan dan api, dan pemain biola terpaksa] membantunya.

Ketika mereka telah makan suatu makanan yang hanya sangat sedikit mereka pergi ke tempat tidur; tetapi pemain biola memanggilnya sangat pagi-pagi benar untuk membersihkan rumah.

Mereka hidup seperti itu untuk dua hari dan ketika mereka telah menghabiskan rasionil di dalam dangau, manusia berkata, ' Isteri, kita tidak bisa teruskan begitu, membelanjakan pendapatan dan apapun tidak ada uang. Kamu harus belajar untuk menenun keranjang.'

Kemudian pemain biola pergi ke luar dan memotong pohon willow, dan membawanya ke rumah, dan dia mulai untuk menenun; tetapi itu membuat jarinya sangat sakit.

' Aku lihat pekerjaan ini tidak patut,' katanya, ' mencoba dan memutar; barangkali kamu akan lakukan itu lebih baik.'

Maka dia duduk dan mencoba untuk memutar; tetapi benang memotong jari lembutnya sampai darah keluar.

' Sekarang,' yang dikatakan pemain biola, ' kamu tidak baik untuk apapun; kamu tidak dapat melakukan pekerjaan. Betapa mudahnya aku menyetujui! Bagaimanapun, Aku akan mencoba dan menyediakan tempat berjualan pot dan panci, dan kamu akan berdiri di pasar dan menjualnya.'

' Aduh!' keluhnya, ' bila ada ajudan bapakku lewat dan melihat aku berdiri di pasar, bagaimana mereka akan menertawakanku!'

Tetapi suaminya tidak memperhatikannya dan mengatakan dia harus bekerja jika dia tidak ingin mati kelaparan.

Pada mulanya perdagangan berjalan baik sebab banyak orang-orang, melihat kecantikan perempuan itu, untuk membeli barangnya dan membayar uangnya samasekali tanpa berpikir tentang barang-barang yang dibawa. Mereka hidup sepanjang mereka lakukan dan kemudian suaminya membeli pot dan panci baru, dan dia duduk bersamnya di sudut pasar.

Bagaimanapun, segera seorang prajurit mabuk segera mengambil dan mengendarai kudanya menabrak kandangnya dan memecahkan semua barang menjadi seribu potongan

Dia mulai untuk menangis/berteriak, dan tidak mengetahui harus berbuat apa. ' Ah! apa yang akan terjadi padaku?' katanya; ' apa yang akan suamiku katakan?' Maka dia berlari menuju rumah dan menceritakan semuanya kepada suaminya.

' Siapa yang akan berfikir bahwa kamu begitu tolol,' katanya, ' seperti meletakkan suatu kandang tembikar di sudut pasar, dimana semua orang lewat? Tetapi mari kita jangan menangis berlebihan; Aku lihat kamu tidaklah sesuai untuk pekerjaan semacam ini , maka saya telah menjadi raja istana, dan jika mereka tidak ingin seorang pelayan dapur; dan mereka akan katakana kepadamu, dan disana kamu akan mempunyai banyak makanan untuk dimakan.'

Sehingga puteri menjadi suatu pelayan dapur dan membantu juru masak melakukan semua pekerjaan yang paling kotor itu. Dia iijinkan untuk membawa pulang sebagian dari daging yang lama, dan mereka hidup dengan itu.

Dia belum lama disana sebelum dia mendengar bahwa anak sulung raja sedang melalui, untuk menikah. Dia pergi ke salah satu dari jendela dan memeriksa. Segalanya adalah siap dan semua terang dan kemegahan dari halaman ada disana. Melihat itu, dia berduka dengan pahit untuk kebodohan dan kebanggaan yang telah membawanya sangat rendah. Para pembantu memberinya sebagian dari daging yang kaya dan dia meletakkannya ke dalam keranjangnya untuk dibawa ke rumah.

Tahu-Tahu, ketika dia sedang meninggalkan,datang putra raja dengan pakaian keemasannya. Ketika ia lihat perempuan cantik seperti itu di ambang pintu, ia mengambil dengan tangannya dan mengatakan dia harus menemaninya untuk menari. Dia menggigil dengan ketakutan sebab dia melihat bahwa itu adalah Raja Grisly-Beard, siapa memperolokkannya. Bagaimanapun, ia menjaga pegangannya, dan memimpinnya ke dalam hall/aula itu. Ketika dia masuk, tutup dari keranjang terlepas jatuh, dan daging di dalamnya rontok. Semua orang menertawakan dan mencemoohnya dan dia menjadi sangat malu bahwa yang dia ingin adalah seribu kaki asyik bumi. Dia bersemi di atas sebuah pintu sedemikian sehingga dia bisa melarikan diri tetapi pada akhirnya Raja Grisly-Beard menyusulnya, menarik punggungnya dan berkata:

' Takut aku! Aku menjadi pemain biola yang telah menyesuaikan dirimu di gubuk itu. Aku membawamu ke sana sebab aku sungguh-sungguh mencintaimu. Aku juga prajurit yang mengembalikanmu ke asalnya . Aku telah melakukan semua ini hanya untuk menyembuhkan kesombonganmu, dan untuk menunjukkanmu kebodohan dari tindakan sewenang-wenangmu. Sekarang adalah dimana: kamu sudah belajar kebijaksanaan, dan adalah waktu untuk pesta perkawinan kita.'

Kemudian pejabat kerajaan/bendahara datang dan membawakannya jubah yang paling indah. Bapaknya dan ajudannya telah siap disana, dan mereka menyambut rumahnya. Sukacita di setiap muka dan hati. Pesta adalah agung; mereka menari dan bernyanyi; semua orang sukaria; dan aku hanya ingin bahwa kamu dan aku tadinya disana.

MOCH. BAHTIAR D.N.

40 / XII IPA 1

Emperor’s New Clothes

Emperor’s New Clothes

Many years ago these lived an emperor who cared only about his clothes and about showing them off. One day he heard from two swindlers that they could make the finest suit of clothes from the most beautiful cloth. This cloth, they said also had the special capability that it was invisible to anyone who was either stupid or not fit for his position.

Being a bit nervous about whether he himself would be able to see the cloth, the emperor first sent two of his trusted men to see it. Of course neither would admit that they could not see the cloth and were interested to learn how stupid their emperors were.

The emperor then allowed himself to be dressed in the clothes for a procession through town, never admitting that he was to unfit and stupid to see that he was wearing. For he was afraid that the other people would think that he was stupid.

Of course, all the townspeople wildly prised the magnificent clothes of the emperor, afraid to admit that they could not see them, until a small chaild said :

“But he has nothing on “.

This was whispered from persent to until everyone in the crowd was shouting that the emperor had nothing on. The emperor heard it and felt that they were correct, but held his head hight and finished the procession.




Baju Baru Kaisar

Beberapa tahun yang lalu hidup seorang kaisar yang hanya peduli tentang pakaiannya dan suka memamerkannya. Suatu hari dia mendengar dari dua orang penipu bahwa mereka dapat membuat pakaian yang terbaik dari yang paling bagus. Pakaian ini, kata mereka,juga mempunyai kemampuan spesial bahwa pakaian tersebut tidak dapat terlihat oleh setiap orang yang bodoh atau yang tidak pantas kedudukannya.

Menjadi sedikit gelisah apakah kaisar akan sanggup untuk melihat pakaiannya, sang Kaisar pertama kali mengirim dua orang kepercayaannya untuk melihatnya. Tentu keduanya tidak akan mengakui bahwa mereka tidak dapat melihat pakaian tersebut dan begitu memujinya. Semua orang kota juga mendengar tentang pakaian tersebut dan tertarik untuk mengetahui bagaimana kebodohan kaisarnya.

Sang Kaisar kemudian memperbolehkan dirinya untuk memakai pakaian tersebut untuk prosesi mengelilingi kota, tidak pernah ada pengakuan bahwa dia tidak pantas dan terlalu bodoh untuk melihat apa yang ia pakai. Karena dia takut bahwa orang lain akan berfikir bahwa ia bodoh.

Tentu saja, semua penduduk kota memuji keindahan pakaian kaisar, ketakutan untuk memuji bahwa mereka tidak dapat melihatnya, sampai seorang anak kecil berkata :

“ Tetapi dia tidak memakai apa-apa”.

Bisikan ini terdengar dari orang hingga setiap orang di dalam keramaian menyoraki bahwa Kaisar tidak memakai apa-apa. Sang Kaisar mendengarnya dan merasa bahwa mereka memang benar, tetapi kemudian memegang kepalanya dan menyelesaikan prosesi.

AGUNG MUSTAJAB

02 / XII IPA 1

The Dragon Rock

The Dragon Rock

This story begins with Once Upon A Time, because the best stories do, of course.

So, Once Upon A Time, and imagine if you can, a steep sided valley cluttered with giant, spiky green pine trees and thick, green grass that reaches to the top of your socks so that when you run, you have to bring your knees up high, like running through water. Wildflowers spread their sweet heady perfume along the gentle breezes and bees hum musically to themselves as they cheerily collect flower pollen.

People are very happy here and they work hard, keeping their houses spick and span and their children's faces clean.

This particular summer had been very hot and dry, making the lean farm dogs sleepy and still. Farmers whistled lazily to themselves and would stand and stare into the distance, trying to remember what it was that they were supposed to be doing. By two o'clock in the afternoon, the town would be in a haze of slumber, with grandmas nodding off over their knitting and farmers snoozing in the haystacks. It was very, very hot.

No matter how hot the day, however, the children would always play in the gentle, rolling meadows. With wide brimmed hats and skin slippery with sun block, they chittered and chattered like sparrows, as they frolicked in their favourite spot.

Now, their favourite spot is very important to this story because in this particular spot is a large, long, scaly rock that looks amazingly similar to a sleeping dragon.

The children knew it was a dragon.

The grown ups knew it was a dragon.

The dogs and cats and birds knew it was a dragon.

But nobody was scared because it never, ever moved.

The boys and girls would clamber all over it, poking sticks at it and hanging wet gumboots on its ears but it didn't mind in the least. The men folk would sometimes chop firewood on its zigzagged tail because it was just the right height and the Ladies Weaving Group often spun sheep fleece on its spikes.

Often on a cool night, when the stars were twinkling brightly in a velvet sky and the children peacefully asleep, the grown ups would settle for the evening with a mug of steaming cocoa in a soft cushioned armchair. Then the stories about How The Dragon Got There began. Nobody knew for sure, there were many different versions depending on which family told the tale, but one thing that everybody agreed on, was this:

In Times of Trouble

The Dragon will Wake

And Free the Village

By making a Lake

This little poem was etched into everybody's minds and sometimes appeared on tea towels and grandma's embroidery.

The days went by slowly, quietly and most importantly, without any rain. There had been no rain in the valley for as long as the children could remember. The wells were starting to bring up muddy brown water and clothes had to be washed in yesterday's dishwater. The lawns had faded to a crisp biscuit colour and the flowers drooped their beautiful heads. Even the trees seemed to hang their branches like weary arms. The valley turned browner and drier and thirstier, every hot, baking day.

The townsfolk grew worried and would murmur to each other when passing with much shaking of heads and tut tuts. They would look upwards searching for rain clouds in the blue, clear sky, but none ever came.

"The tale of the Dragon cannot be true," said old Mrs Greywhistle, the shopkeeper.

"It hasn't moved an inch, I swear," replied her customer, tapping an angry foot.

It was now too hot for the children to play out in the direct sun and they would gather under the shade of the trees, digging holes in the dust and snapping brittle twigs.

"The Dragon will help us soon," said one child.

"He must do Something," agreed another.

"I'm sure he will."

They all nodded in agreement.

A week went by with no change, the people struggling along as best they could. Some were getting cross at the Dragon and would cast angry, sideways looks at it when passing. The villagers were becoming skinny eyed and sullen.

Meanwhile, the children had a plan.

Quickly and quietly, they moved invisibly around town, picking and plucking at the fading flowers. With outstretched arms and bouquets up to their chins, they rustled over to where the giant rock lay, as still as ever.

The boys and girls placed bunches of flowers around the Dragon in a big circle. They scattered petals around its head and over its nose, then danced around and around it, skipping and chanting the rhyme that they all knew so well.

In Times of Trouble

The Dragon Will Wake

And Save the Village

By making a Lake.

The searing heat made them dizzy and fuzzy and finally they all fell in a sprawling heap at the bottom of the mound. They looked up at the rock.

Nothing happened.

A dry wind lazily picked up some flower heads and swirled them around. The air was thick with pollen and perfume. A stony grey nostril twitched.

"I saw something," cried the youngest boy.

They stared intently.

An ear swiveled like a periscope.

The ground began to rumble.

"Look out! Run!Run!"

The children scampered in all directions, shrieking and squealing, arms pumping with excitement.

The rumbling grew and grew.

The Dragon raised its sleepy head. It got onto its front feet and sat like a dog. It stood up and stretched, arching its long scaly back like a sleek tabby cat. It blinked and looked around with big kind, long lashed eyes.

And then its nostrils twitched and quivered again.

The older folk were alerted by the screams and shrieks. The ladies held up their long skirts to run and the men rolled their sleeves up and soon the whole town stood together in a tight huddle at the foot of the hill, staring up at the large beast with mouths held open.

"AHHHHH AAHHHHHHHHH!!"

The noise erupted from the Dragon.

"AHHHHH AAHHHHHHHHHHHHH!!"

The families gripped each other tighter and shut their eyes.

"AHHHHH CHOOOOOOOOO!!"

The sneeze blasted from the Dragon like a rocket, throwing it back fifty paces, causing a whirlwind of dust and dirt.

"AHHHHH CHOOOOOOOOOOOOO!!"

The second blast split open the dry earth, sending explosions of soil and tree roots high into the sky like missiles, and something else too ...

The people heard the sound but couldn't recognize it at first for it had been such a long time since their ears had heard such tinkling melody. As their eyes widened in wonder, their smiles turned into grins and then yahoos and hoorahs.

Water, cold, clear spring water, oozed, then trickled, then roared out of the hole, down the hillside and along the valley floor.

The torrent knocked over a farmer's haystack, but he didn't care.

The river carried away the schoolteacher's bike shed but she cared not a jot. It even demolished the Ladies Bowling Club changing rooms but they howled with laughter and slapped their thighs. When the flood sent pools of water out towards the golf course, filling up sixteen of the nineteen holes, the men just hooted and whistled and threw their caps up in the air.

What used to be a dirty, brown dust bowl, now gleamed and glistened in the sunlight, sending playful waves and ripples across the lake and inviting all to share.

"HMMMMM," sighed the Dragon sleepily, and showing his perfect movie star teeth. "Seeing as I'm awake ..."

And he lumbered forward with surprising grace and style and disappeared into the cool dark water with a small wave of a claw and flick of his tail.

They never saw him again.

After the families had restored and rebuilt the village, and set up sailing clubs for the children, and scuba diving for the grandparents, they erected a bandstand and monument in the spot where the Dragon used to lay. Every year to mark the occasion, they would bring garlands of flowers and herbs and arrange them in a big circle. The children would have the day off school, for it was known as 'Water Dragon Day' and wearing the dragon masks that they had been working on all week, would skip and clap and sing.

The Dragon helped Us

As We said He would Do

Hooray for The Dragon

Achoo, Achoo, ACHOOOO!

And that is the end of the story.

Batu Ular Naga

Cerita ini mulai dengan Pada suatu waktu; sekali peristiwa, sebab cerita yang terbaik lakukan, tentu saja.

Maka, Pada suatu waktu; sekali peristiwa, dan membayangkan jika kamu dapat, suatu lembah yang disamping curam yang dalam keadaan sangat kacau balau, kayu tusam hijau berujung tajam dan rumput tebal, hijau yang menjangkau kepada puncak kaos kaki mu sedemikian sehingga ketika kamu berlari, kamu harus mengangkat lututmu yang tinggi,seperti berlari melalui air. Bunga liar menyebar parfum manisnya yang memabukkan sepanjang angin sepoi-sepoi dan lebah yang lembut bersenandung dengan musiknya seperti mereka dengan riang mengumpulkan serbuk sari bunga.

Orang-Orang adalah sangat bahagia di sini dan mereka bekerja berat, memelihara rumahnya yang sangat bersih dan rapi dan membersihkan muka anak-anak mereka.

Khusus pada musim panas ini adalah sangat kering dan panas, membuat bersandar anjing rumah mengantuk dan hening. Petani bersiul dengan malas untuk diri mereka dan akan berdiri dan menatap ke kejauhan, berusaha untuk ingat apa yang mereka kira sedang lakukan. Ketika jam dua sore, kota akan diselimuti kabut tipis, saat nenek mengangguk mulai merajut dan petani tidur sebentar di timbunan rumput kering. Itu sesungguhnya adalah sangat panas.

Tak peduli bagaimana panasnya hari ini, bagaimanapun, anak-anak akan selalu bermain dengan berani, menggulung di padang rumput. Dengan topi yang lebar dan kulit licin dengan sun block, mereka mengobrol seperti burung pipit, seperti mereka berpesiar di tempat yg mereka senangi.

Sekarang, tempat yg mereka senangi adalah sangat penting pada cerita ini sebab di tempat yang ini adalah besar, panjang, batu karang bersisik yang terlihat mengagumkan serupa suatu ular naga yang sedang tidur.

Anak-Anak mengenalnya adalah seekor ular naga.

Orang dewasa mengenalnya adalah seekor ular naga.

Anjing dan kucing dan burung mengenalnya adalah seekor ular naga.

Tetapi tidak ada orang ketakutan sebab itu tidak pernah bergerak.

Lelaki dan anak-anak perempuan akan memanjat di mana-mana, menyodokkan tongkat kepadanya dan menggantung sepatu karet basah pada telinganya tetapi itu tidak memperdulikannya. Para lelaki kadang-kadang akan menaruh potongan kayu bakar di atas ekornya yang berliku-liku sebab itu hanya puncak yang tepat dan Kelompok Penenun Wanita sering memutar bulu domba biri-biri pada paku besarnya.

Kebiasaan pada malam yang dingin, ketika bintang-bintang sedang berkelip dengan hebat di langit beludru dan anak-anak yang dengan damai tertidur, orang dewasa akan bersedia menerima sore dengan semangkok coklat panas di sebuah bantal kursi yang lembut. Kemudian cerita tentang Bagaimana Ular naga Yang berhasil mulai. Tidak ada orang mengenal dengan pasti, ada banyak versi berbeda tergantung keluarga yang mana yang menceritakan cerita ini, tetapi satu hal bahwa semua orang bermufakat, bahwa ini adalah:

Pada waktunya Gangguan

Ular naga akan Bangun

Dan Bebaskan Desa

Dengan membuatan sebuah Danau

syair yang Sedikit ini di-etsa ke dalam pikiran semua orang dan kadang-kadang nampak pada handuk teh dan sulaman nenek.

Hari berlalu dengan pelan, tenang dan yang paling penting, tanpa hujan. Di sana tadinya tidak ada hujan di lembah untuk selama anak-anak bisa ingat. Sumur sedang mulai menunjukkan air berwarna coklat dan pakaian yang telah dicuci kemarin berlumpur. Halaman rumput telah memudar warnanya seperti suatu biskuit keriting dan bunga-bunga layu kepala keindahannya. Bahkan pohon nampak menggantungkan cabangnya seperti lengan yang lelah. Lembah berubah lebih coklat dan lebih kering dan kering, setiap panas, membakar hari.

Orang-Orang kota mulai merasa cemas dan berbisik ke satu sama lain ketika berlalunya banyak goncangan dari kepala dan oh ya oh ya. Mereka akan melihat ke atas mencari-cari awan hujan di langit yang biru, yang jelas bersih, tetapi sama sekali tidak pernah datang.

" Cerita dari Ular naga tidak bisa benar," itu yang dikatakan Mrs Greywhistle, pengelola toko.

" Itu belum bergerak seinci pun, aku bersumpah," yang dijawab pelanggannya, menjawab dengan marah.

Itu kini terlalu panas untuk anak-anak bermain ke luar terkena matahari langsung dan mereka akan berkumpul di bawah keteduhan dari pohon, menggali lubang di debu dan menggeretak ranting rapuh.

" Ular naga akan membantu kami segera," kata seorang anak.

" Ia harus melakukan Sesuatu ," yang disetujui yang lain.

" Aku yakin ia akan melakukannya."

Mereka semua mengangguk setuju.

Seminggu berlalu tanpa ada perubahan, orang-orang berjuang terus terbaik yang mereka bisa. Beberapa sedang membuat salib di Ular naga dan akan melempar marah, menyamping menelitinya ketika itu lewat. Orang desa dipandang menjadi merengut dan kurus.

Sementara itu, anak-anak mempunyai suatu rencana.

Cepat atau lambat, mereka memindahkan dengan cara terselubung di sekitar kota, mengambil dan memetik di bunga yang memudar itu. Dengan mengulurkan tangan dan membentangkan buket sampai dagu mereka, mereka berdesir dimana batu karang raksasa diletakkan, seperti keheningan sebelumnya.

Lelaki dan anak-anak perempuan menempatkan seikat/ berkas bunga di sekitar Ular naga di dalam suatu lingkaran besar. Mereka menyebar daun bunga di sekitar kepalanya dan diatas hidungnya, kemudian menari di sekitar dan di sekitarnya, melompati dan menyanyikan sajak yang mereka semua kenal/ketahui sangat baik.

Pada waktunya Gangguan

Ular naga Akan Bangun

Dan menyelamatkan Desa

Dengan pembuatan sebuah Danau.

Pembakaran panas membuat mereka tidak jelas dan pusing dan akhirnya mereka semua runtuh suatu tergeletak di tumpukan pada gundukan tanah itu. Mereka melihat ke arah batu karang.

Tidak ada apapun terjadi.

Suatu angin kering dengan lembut membawa beberapa kepala bunga dan mengaduk di sekelilingnya. Udara adalah berkabut dengan serbuk sari dan wangi-wangian. Suatu getaran disertai batu yang berwarna abu-abu berjatuhan.

" Aku lihat sesuatu ," teriak anak laki-laki .

Mereka membelalak ke arah yang dimaksud.

Suatu telinga yang berpusar seperti periskop.

Landasan mulai bergemuruh.

" Lihat keluar! Lari!Lari!"

Anak-Anak terbirit-birit ke segala jurusan, jeritan dan memekik, lenganyang memompa dengan kegembiraan.

Gemuruh tumbuh dan tumbuh.

Ular naga mengangkat kepala mengantuknya. Itu menaruh kaki depannya dan duduk seperti seekor anjing. Itu berdiri dan meregangkan, cincin busurnya yang seperti punggung bersisik seperti suatu kucing betina kucing halus dan rapi. Itu mengejapkan dan yang dilihat-lihat dengan sesama besar, merindukan mata dicambuk.

Dan kemudian lubang hidungnya yang kejang dan digetarkan lagi.

Rakyat yang lebih tua disiagakan oleh pekikan dan pekikan. Wanita menghambat mereka memegang roknya untuk berlari dan laki-laki menggulung lengan baju mereka yang atas dan segera keseluruhan orang kota berdiri bersama-sama dalam keadaan ketat berjubel di kaki bukit, menatap ke arah binatang buas yang besar dengan mulut yang dipegang terbuka.

" AHHHHH AAHHHHHHHHH!!"

Suara gaduh meletus dari Ular naga.

" AHHHHH AAHHHHHHHHHHHHH!!"

Keluarga-Keluarga menggenggam satu sama lain lebih erat dan menutup mata mereka.

" AHHHHH CHOOOOOOOOO!!"

Sin diledakkan dari Ular naga seperti suatu roket, melemparkan itu kembali lima puluh langkah, menyebabkan suatu angin puyuh kotoran dan debu.

" AHHHHH CHOOOOOOOOOOOOO!!"

Letusan yang kedua membuat tanah kering terbuka, mengirimkan ledakan dari tanah dan akar pohon menjulang tinggi ke langit seperti proyektil/peluru, dan hal lain juga...

Orang-Orang mendengar bunyi tetapi tidak bisa mengenalinya pada mulanya sejak telinga mereka telah mendengar nyanyian yang berdering seperti itu . Matanya melebar dalam keheranan, senyuman mereka berubah menjadi seringai dan kemudian kasar dan jahat.

Air, air dingin, mata air bersih, lumpur, kemudian menetes, kemudian bergemuruh ke luar dari lubang, sepanjang lereng bukit dan sepanjang lantai lembah.

Semburan melanda suatu timbunan rumput kering petani, tetapi ia tidak mempedulikan.

Sungai mengangkut sepeda guru sekolah tetapi dia sama sekali tidak mempedulikan. Itu telah merobohkan ruang di tempat Kelompok Wanita tetapi mereka berteriak dengan ketawa dan menampar paha mereka. Ketika banjir mengirim air ke luar ke tempat lapangan golf, memenuhi enambelas dari sembilan belas lubang, laki-laki hanya meneriaki dan bersiul dan melemparkan kopiah mereka sambil marah.

Apa yang digunakan untuk suatu kotor, mangkok berdebu coklat, sekarang mengkilap dan berkilau terkena matahari, datangnya ombak dan riak ke seberang danau dan mengundang semua untuk berbagi.

" HMMMMM," desahan Ular naga dengan ogah-ogahan, dan mempertunjukkan gigi bintang bioskop sempurnanya. " Melihat seperti Aku adalah terjaga..."

Dan ia tertatih ke depan dengan gaya mengejutkan dan gaya bahasa dan menghilang ke dalam air dingin yang gelap dengan sebuah gelombang kecil dari cakar dan kibasan ekornya.

Mereka tidak pernah lihat dia lagi.

Setelah keluarga-keluarga telah memugar dan membangun kembali desa/kampung, dan menyediakan kelompok melayari untuk anak-anak, dan peralatan selam untuk menyelam kakek dan nenek, mereka mendirikan suatu bandstand dan monumen di tempat dimana digunakan untuk meletakkan Ular naga. Setiap tahun untuk menandai peristiwa itu, mereka akan membawa karangan bunga dan tumbuhan dan menyusun nya di suatu lingkaran besar. Anak-Anak akan libur sekolah, oleh karena itu dikenal sebagai ' Hari Air Ular naga ' dan memakai topeng ular naga yang menyatakan bahwa mereka tengah bekerja pada semua minggu, akan melompat dan tepuk tangan dan menyanyi.

Ular naga membantu Kami

Ketika kita berkata Ia akan Lakukan

Hurah untuk Ular naga

Achoo, Achoo, ACHOOOO!

Dan itu menjadi akhir dari cerita ini.

MUH. RIFQI F.

10 / XII IPA 1